
Yeyen tiba-tiba sambil memegangi
salah satu jarinya. Aku langsung menghampirinya, dan kulihat memang ada
darah menetes dari jari telunjuk kirinya. “Sini aku bersihin,” kataku
sambil membungkusnya dengan serbet yang aku raih begitu saja dari atas
meja makan.
Yeyen nampak meringis saat aku
menetesinya dengan Betadine, walau lukanya hanya luka irisan kecil saja
sebenarnya. Beberapa saat aku menetesi jarinya itu sambil kubersihkan
sisa-sisa darahnya. Yeyen nampak terlihat canggung saat tanganku terus
membelai-belai jarinya. “Udah ah Mas,” katanya berusaha menarik jarinya
dari genggamanku. Aku pura-pura tak mendengar, dam masih terus mengusapi
jarinya dengan tanganku. Aku kemudian membimbing dia untuk duduk di
kursi meja makan, sambil tanganku tak melepaskan tangannya. Sedangkan
aku berdiri persis di sampingnya. “Udah nggak apa-apa kok Mas, Makasih
ya,” katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku. Kali ini ia
berhasil melepaskannya. “Makanya jangan ngelamun dong. Kamu lagi inget
Ma si Novan ya?” godaku sambil menepuk-nepuk lembut pundaknya. “Yee,
nggak ada hubungannya, tau,” jawabnya cepat sambil mencubit punggung
lenganku yang masih berada dipundaknya.
Kami memang akrab, karena umurku
dengan dia hanya terpaut 4 tahun saja. Aku saat ini 27 tahun, istriku
yang juga kakak dia 25 tahun, sedangkan adik iparku ini 23 tahun. “Mas
boleh tanya nggak. Kalo cowok udah deket Ma temen cewek barunya, lupa
nggak sih Ma pacarnya sendiri?” tanyanya tiba-tiba sambil menengadahkan
mukanya ke arahku yang masih berdiri sejak tadi. Sambil tanganku tetap
meminjat-mijat pelan pundaknya, aku hanya menjawab, “Tergantung.”
“Tergantung apa Mas?” desaknya seperti penasaran. “Tergantung, kalo si
cowok ngerasa temen barunya itu lebih cantik dari pacarnya, ya bisa aja
dia lupa Ma pacarnya,” jawabku sekenanya sambil terkekeh. “Kalo Mas
sendiri gimana? Umpamanya gini, Mas punya temen cewek baru, trus tu
cewek ternyata lebih cantik dari pacar Mas. Mas bisa lupa nggak Ma cewek
Mas?” tanya dia. “Hehe,” aku hanya ketawa kecil aja mendengar
pertanyaan itu. “Yee, malah ketawa sih,” katanya sedikit cemberut. “Ya
bisa aja dong. Buktinya sekarang aku deket Ma kamu, aku lupa deh kalo
aku udah punya istri,” jawabku lagi sambil tertawa. “Hah, awas lho ya.
Ntar Yeyen bilangan lho Ma Mbak Ratri,” katanya sambil menahan tawa.
“Gih bilangin aja, emang kamu lebih cantik dari Mbak kamu kok,” kataku
terbahak, sambil tanganku mengelus-ngelus kepalanya. “Huu, Mas nih
ditanya serius malah becanda.” “Lho, aku emang serius kok Yen,” kataku
sedikit berpura-pura serius.
Kini belaian tanganku di rambutnya,
sudah berubah sedikit menjadi semacam remasan-remasan gemas. Dia
tiba-tiba berdiri. “Yeyen mo lanjutin masak lagi nih Mas. Makasih ya dah
diobatin,” katanya. Aku hanya membiarkan saja dia pergi ke arah dapur
kembali. Lama aku pandangi dia dari belakang, sungguh cantik dan sintal
banget body dia. Begitu pikirku saat itu. Aku mendekati dia, kali ini
berpura-pura ingin membantu dia. “Sini biar aku bantu,” kataku sambil
meraih beberapa lembar tempe dari tangannya. Yeyen seolah tak mau
dibantu, ia berusaha tak melepaskan tempe dari tangannya. “Udah ah,
nggak usah Mas,” katanya sambil menarik tempe yang sudah aku pegang
sebagian. Saat itu, tanpa kami sadari ternyata cukup lama tangan kami
saling menggenggam. Yeyen nampak ragu untuk menarik tangannya dari
genggamanku. Aku melihat mata dia, dan tanpa sengaja pandangan kami
saling bertabrakan. Lama kami saling berpandangan. Perlahan mukaku
kudekatkan ke muka dia. Dia seperti kaget dengan tingkahku kali ini,
tetapi tak berusaha sedikit pun menghindar. Kuraih kepala dia, dan
kutarik sedikit agar lebih mendekat ke mukaku. Hanya hitungan detik
saja, kini bibiku sudah menyentuh bibirnya. “Maafin aku Yen,” bisiku
sambil terus berusaha mengulum bibir adik iparku ini. Yeyen tak
menjawab, tak juga memberi respon atas ciumanku itu. Kucoba terus
melumati bibir tipisnya, tetapi ia belum memberikan respon juga.
Tanganku masih tetap memegang bagian
belakang kepala dia, sambil kutekankan agar mukanya semakin rapat saja
dengan mukaku. Sementara tangaku yang satu, kini mulai kulingkarkan ke
pinggulnya dan kupeluk dia. “Sshh,” Yeyen seperti mulai terbuai dengan
jilatan demi jilatan lidahku yang terus menyentuh dan menciumi bibirnya.
Seperti tanpa ia sadari, kini tangan Yeyen pun sudah melingkar di
pinggulku. Dan lumatanku pun sudah mulai direspon olehnya, walau masih
ragu-ragu. “Sshh,” dia mendesah lagi. Mendengar itu, bibirku semakin
ganas saja menjilati bibir Yeyen. Perlahan tapi pasti, kini dia pun
mulai mengimbangi ciumanku itu. Sementara tangaku dengan liar
meremas-remas rambutnya, dan yang satunya mulai meremas-remas pantat
sintal adik iparku itu. “Aahh, mass,” kembali dia mendesah. Mendengar
desahan Yeyen, aku seperti semakin gila saja melumati dan sesekali
menarik dan sesekali mengisap-isap lidahnya. Yeyen semakin terlihat
mulai terangsang oleh ciumanku. Ia sesekali terlihat menggelinjang
sambil sesekali juga terdengar mendesah. “Mas, udah ya Mas,” katanya
sambil berusaha menarik wajahnya sedikit menjauh dari wajahku.
Aku menghentikan ciumanku. Kuraih
kedua tangannya dan kubimbing untuk melingkarkannya di leherku. Yeyen
tak menolak, dengan sangat ragu-ragu sekali ia melingkarkannya di
leherku. “Yeyen takut Mas,” bisiknya tak jauh dari ditelingaku. “Takut
kenapa, Yen?” kataku setengah berbisik. “Yeyen nggak mau nyakitin hati
Mbak Ratri Mas,” katanya lebih pelan. Aku pandangi mata dia, ada
keseriusan ketika ia mengatakan kalimat terakhir itu. Tapi, sepertinya
aku tak lagi memperdulikan apa yang dia takutkan itu. Kuraih dagunya,
dan kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Yeyen dengan masih menatapku
tajam, tak berusaha berontak ketika bibir kami mulai bersentuhan
kembali. Kucium kembali dia, dan dia pun perlahan-lahan mulai membalas
ciumanku itu. Tanganku mulai meremas-remas kembali rambutnya. Bahkan,
kini semakin turun dan terus turun hingga berhenti persis di bagian
pantatnya. Pantanya hanya terbalut celana pendek tipis saja saat aku
mulai meremas-remasnya dengan nakal. “Aahh, Mas,” desahnya. Mendengar
desahannya, tanganku semakin liar saja memainkan pantat adik iparku itu.
Sementara tangaku yang satunya, masih berusaha mencari-cari payudaranya
dari balik kaos oblongnya. Ah, akhirnya kudapati juga buah dadanya yang
mulai mengeras itu. Dengan posisi kami berdiri seperti itu, batang
penisku yang sudah menegang dari tadi ini, dengan mudah kugesek-gesekan
persis di mulut vaginanya.
Kendati masih sama-sama terhalangi
oleh celana kami masing-masing, tetapi Yeyen sepertinya dapat merasakan
sekali tegangnya batang kemaluanku itu. “Aaooww Mas,” ia hanya berujar
seperti itu ketika semakin kuliarkan gerakan penisku persis di bagian
vaginanya. Tanganku kini sudah memegang bagian belakang celana
pendeknya, dan perlahan-lahan mulai kuberanikan diri untuk mencoba
merosotkannya. Yeyen sepertinya tak protes ketika celana yang ia kenakan
semakin kulorotkan. Otakku semakin ngeres saja ketika seluruh celananya
sudah merosot semuanya di lantai. Ia berusaha menaikan salah satu
kakinya untuk melepaskan lingkar celananya yang masih menempel di
pergelangan kakinya. Sementara itu, kami masih terus berpagutan seperti
tak mau melepaskan bibir kami masing-masing. Dengan posisi Yeyen sudah
tak bercelana lagi, gerakan-gerakan tanganku di bagian pantatnya semakin
kuliarkan saja.
Ia sesekali menggelinjang saat
tanganku meremas-remasnya. Untuk mempercepat rangsangannya, aku raih
salah satu tanganya untuk memegang batang zakarku kendati masih
terhalang oleh celana jeansku. Perlahan tangannya terus kubimbing untuk
membukakan kancing dan kemudian menurunkan resleting celanaku. Aku
sedikit membantu untuk mempermudah gerakan tangannya. Beberapa saat
kemudian, tangannya mulai merosotkan celanaku. Dan oleh tanganku
sendiri, kupercepat melepaskan celana yang kupakai, sekaligus celana
dalamnya. Kini, masih dalam posisi berdiri, kami sudah tak lagi memakai
celana. Hanya kemejaku yang menutupi bagian atas badanku, dan bagian
atas tubuh Yeyen pun masih tertutupi oleh kaosnya. Kami memang tak
membuka itu. Tanganku kembali membimbing tangan Yeyen agar memegangi
batang zakarku yang sudah menegang itu. Kini, dengan leluasa Yeyen mulai
memainkan batang zakarku dan mulai mengocok-ngocoknya perlahan. Ada
semacam tegangan tingi yang kurasakan saat ia mengocok dan sesekali
meremas-remas biji pelerku itu. “Oohh,” tanpa sadar aku mengerang karena
nikmatnya diremas-remas seperti itu. “Mas, udah Mas. Yeyen takut Mas,”
katanya sambil sedikit merenggangkan genggamannya di batang kemaluanku
yang sudah sangat menegang itu. “Aahh,” tapi tiba-tiba dia mengerang
sejadinya saat salah satu jariku menyentuh klitorisnya.
Lubang vagina Yeyen sudah sangat basah
saat itu. Aku seperti sudah kerasukan setan, dengan liar
kukeluar-masukan salah satu jariku di lubang vaginanya. “Aaooww, mass,
een, naakk..” katanya mulai meracau. Mendengar itu, birahiku semakin tak
terkendali saja. Perlahan kuraih batang kemaluanku dari genggamannya,
dan kuarahkan sedikit demi sedikit ke lubang kemaluan Yeyen yang sudah
sangat basah. “Aaoww, aaouuww,” erangnya panjang saat kepala penisku
kusentuh-sentukan persis di klitorisnya. “Please, jangan dimasukin Mas,”
pinta Yeyen, saat aku mencoba mendorong batang zakarku ke vaginanya.
“Nggak Papa Yen, sebentaar aja,” pintaku sedikit berbisik ditelinganya.
“Yeyen takut Mas,” katanya berbisik sambil tak sedikit pun ia berusaha
menjauhkan vaginanya dari kepala kontolku yang sudah berada persis di
mulut guanya. Tangan kiri Yeyen mulai meremas-remas pantatku, Sementara
tangan kanannya seperti tak mau lepas dari batang kemaluanku itu. Untuk
sekedar membuatnya sedikit tenang, aku sengaja tak langsung memasukan
batang kemaluanku. Aku hanya meminta ia memegangi saja. “Pegang aja
Yen,” kataku pelan.
Yeyen yang saat itu sebenarnya
sudah terlihat bernafsu sekali, hanya mengangguk pelan sambil menatapku
tajam. Remasan demi remasan jemari yeyen di batang zakarku, dan sesekali
di buah zakarnya, membuatku kelojotan. “Aku udah gak tahan banget Yen,”
bisikku pelan. “Yeyen takut banget Mas,” katanya sambil mengocok-ngocok
lembut kemaluanku itu. “Aahh,” aku hanya menjawabnya dengan erangan
karena nikmatnya dikocok-kocok oleh tangan lembut adik iparku itu.
Kembali kami saling berciuman, sementara tangan kami sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing. Saat bersamaan dengan ciuman kami yang
semakin memanas, aku mencoba kembali untuk mengarahkan kepala kontolku
ke lubang vaginanya. Saat ini, Yeyen tak berontak lagi. Kutekan pantat
dia agar semakin maju, dan saat bersamaan juga, tangan Yeyen yang sedang
meremas-remas pantatku perlahan-lahan mulai mendorongnya maju pantatku.
“Kita sambil duduk, sayang,” ajaku sambil membimbing dia ke kursi meja
makan tadi. Aku mengambil posisi duduk sambil merapatkan kedua pahaku.
Sementara Yeyen kududukan di
atas kedua pahaku dengan posisi pahanya mengangkang. Sambil kutarik agar
dia benar-benar duduk di pahaku, tanganku kembali mengarahkan batang
kemaluanku yang posisinya tegak berdiri itu agar pas dengan lubang
vagina Yeyen. Ia sepertinya mengerti dengan maksudku, dengan lembut ia
memegang batang kemaluanku sambil berupaya mengepaskan posisi lubang
vaginanya dengan batang kemaluanku. Dan bless, perlahan-lahan batang
kemaluanku menusuk lubang vagina Yeyen. “Aahh, aaooww, mass,” Yeyen
mengerang sambil kelojotan badannya. Kutekan pinggulnya agar dia
benar-benar menekan pantatnya. Dengan demikian, batang kontolku pun akan
melesak semuanya masuk ke lubang vaginanya. “Yeenn,” kataku. “Aooww,
ter, russ mass.., aahh..” pantatnya terus memutar seperti inul sedang
ngebor. “Ohh, nik, nikmat banget mass..” katanya lagi sambil bibirnya
melumati mukaku. Hampir seluruh bagian mukanku saat itu ia jilati. Untuk
mengimbangi dia, aku pun menjilati dan mengisap-isap puting susunya.
Darahku semakin mendidih rasanya
saat pantatnya terus memutar-mutar mengimbangi gerakan naik-turun
pantatku. “Mass, Yee, Yeeyeen mau,” katanya terputus. Aku semakin
kencang menaik-turunkan gerakan pantatku. “Aaooww mass, please mass”
erangnya semakin tak karuan. “Yee, Yeyeen mauu, kee, kkeeluaarr mass,”
ia semakin meracau. Namun tiba-tiba, “Krriingg..” “Aaooww, Mas ada yang
datang Mas..” bisik Yeyen sambil tanpa hentinya mengoyang-goyangkan
pantatnya. “Yenn,” suara seseorang memanggil dari luar. “Cepetan buka
Yenn, aku kebelet nih,” suara itu lagi, yang tak lain adalah suara Ratri
kakaknya sekaligus istriku. “Hah, Mbak Ratri Mas,” katanya terperanjat.
Yeyen seperti tersambar petir, ia langsung pucat dan berdiri melompat
meraih celana dalam dan celana pendeknya yang tercecer di lantai dapur.
Sementara aku tak lagi bisa berkata apa-apa, selain secepatnya meraih
celana dan memakainya. Sementara itu suara bel dan teriakan istriku
terus memanggil. “Yeenn, tolong dong cepet buka pintunya. Mbak pengen ke
air nih,” teriak istriku dari luar sana. Yeyen yang terlihat panik
sekali, buru-buru memakai kembali celananya, sambil berteriak,
“Sebentarr, sebentar Mbak..” “Mas buruan dipake celananya,” Yeyen masih
sempet menolehku dan mengingatkanku untuk secepatnya memakai celana.
Ia terus berlari ke arah pintu
depan, setelah dipastikan semuanya beres, ia membuka pintu. Aku
buru-buru berlari ke arah ruang televisi dan langsung merebahkan badan
di karpet agar terlihat seolah-olah sedang ketiduran. “Gila,” pikirku.
“Huu, lama banget sih buka pintunya? Orang dah kebelet kayak gini,”
gerutu istriku kepada Yeyen sambil terus menyelong ke kamar mandi. “Iya
sori, aku ketiduran Mbak,” kata Yeyen begitu istriku sudah keluar dari
kamar mandi. “Haa, leganyaa,” katanya sambil meraih gelas dan meminum
air yang disodorkan oleh adiknya. “Mas Jeje mana Yen?” “Tuh ketiduran
dari tadi pulang ngantor di situ,” kata Yeyen sambil menunjuk aku yang
sedang berpura-pura tidur di karpet depan televisi. “Ya ampun, Mas kok
belum ganti baju sih?” kata istriku sambil mengoyang-goyangkan tubuhku
dengan maksud membangunkan. “Pindah ke kamar gih Mas,” katanya lagi. Aku
berpura-pura ngucek-ngucek mata, agar kelihatan baru bangun beneran.
Aku tak langsung masuk kamar, tapi menyolong ke dapur mengambil air
minum. “Lho katanya pulang ntar abis magrib, kok baru jam setengah lima
udah pulang? Kamu pulang pake apa?” tanyaku berbasa-basi pada istriku.
“Nggak jadi rapatnya Mas. Pake taksi barusan,” jawab dia. “Lho, kamu
lagi masak toh Yen? Kok belum kelar gini dah ditinggal tidur sih?” kata
istriku kepada Yeyen setelah melihat irisan-irisan tempe berserakan di
meja dapur. “Mana berantakan, lagi,” katanya lagi. “Iya tadi emang lagi
mo masak.
Tapi nggak tahan ngantuk. Jadi
kutinggal tidur aja deh,” Yeyen berusaha menjawab sewajarnya sambil
senyum-senyum. Sore itu, tanpa mengganti pakaiannya dulu, akhirnya
istrikulah yang melanjutkan masak. Yeyen membantu seperlunya. Sementara
itu, aku hanya cengar-cengir sendiri saja sambil duduk di kursi yang
baru saja kupakai berdua dengan Yeyen bersetubuh, walau belum sempat
mencapai puncaknya. “Waduh, kasihan Yeyen. Dia hampir aja sampai
klimaksnya padahal barusan, eh keburu datang nih mbaknya,” kataku sambil
nyengir melihat mereka berdua yang lagi masak.